Senin, 25 Maret 2013

Namaku Helena

Helena...oleh para peneliti dan aktivis kupu kupu memanggil nya. Helana adalah satu dari 225 species kupu kupu yang beterbangan di kawasan karts Bantimurung Maros Sulawesi Selatan.

Sabtu, 02 Maret 2013

Kota berwajah manusia

Entah sampai kapan kota Makassar benar benar bersih dari pemandangan bagi mereka yang numpang tenar dengan cara memasang foto dirinya dari berbagai gaya. Umumnya mereka memperlihatkan senyum sumringah seolah-olah murah senyum dan bersahabat sebagai lambang kemasyarakatan. Bahkan terkadang juga terlihat ada pose yang memaksakan dirinya tersenyum padahal begitu sulitnya dia senyum saat bertatap muka. 

Bukan hanya bando yang menjadi sasaran pemasangan foto para calon pemimpin kota Makassar tersebut.  Pohon-pohon penghiasa jalan pun menjadi sasaran mereka. Tiang telepon, listrik, pembatas jalan juga tak ketinggalan menjadi sasaran mereka menempel foto nya.

Padahal, mereka ini adalah calon pemimpin kota Makassar, yang akan menahkodai Makassar lima tahun ke depan. Saya kurang memahami, apa yang terkandung dalam benak mereka tentang keindahan, estetika dan kepatutan suatu kota yang modern, indah, nyaman dan elok dipandang mata. Elokah mereka melihat sebuah kota yang dipenuhi foto-foto wajah manusia dari berbagai senyum,gaya dan kalimat?. 

Pemandangan seperti ini bakalan terus terlihat hingga dua tahun ke depan. Bahkan pada tahun 2014 hingga 2015, wajah-wajah asing bakalan terlihat memenuhi kota,memenuhi berbagai sudut jalan di kota ini. Mereka itu, akan memperebutkan kekuasaan untuk duduk sebagai anggota dewan. 

Saya pun muak dan mual melihat wajah-wajah itu. Tak pernah sepi sejak dua tahun terakhir ini.


Sabtu, 16 Februari 2013

Siapa pemilik sah suara rakyat?



“Kita berdiri di sini untuk mengumandangkan jeritan rakyat yang terhimpit kemiskinan. Dan kita adalah, salah satu rakyat itu yang telah dimiskinkan oleh keadaan karena pembangunan untuk rakyat telah dirampok oleh para koruptor. Dan suara rakyat adalah suara Tuhan saudara-saudara sekalian”.  Teriak seorang demontran mahasiswa saat menyampaikan orasinya di hadapan ratusan massa yang mengawalnya saat berunjuk rasa.
“sejak kapan suara rakyat adalah suara Tuhan”, Tanya seorang  masyarakat yang sedang menyaksikan aksi para mahasiswa dan kelompok LSM ini. 

“Yah sejak kita berdiri di sini dan mendengar mahasiswa itu pidato”, jawab rekannya yang sejak sejam lalu mengikuti jalannya aksi unjuk rasa memperingati hari anti korupsi se dunia. Ansyar, warga yang bertanya tentang suara rakyat adalah suara Tuhan lalu melangkah membeli  segelas air dingin lalu meminumnya.  Agar hati dan pikirannya  tersiram air dingin, sebab selama dua jam lamanya,Ansyar menikmati terik matahari dari luar sementara pernyataan mahasiswa tadi juga membuatnya merasa panas dan bertanya-tanya. “Gimana Syar, sudahkah kau minum air dingin. Sejukan hatimu”, Tanya Ridho sambil tertawa.  vox populi vox Dei” teriak Ridho

Ansyar wajar heran, sebab beberapa saat yang lalu dia juga sempat membaca beberapa spanduk dan iklan di media bahwa Suara Golkar adalah Suara Rakyat. “Lalu jika benar kata mahasiswa itu suara rakyat adalah suara Tuhan berarti  suaranya rakyat itu suaranya Golkar”, rintih Ansyar.

Rupanya kalimat ini yang membuat Ansyar  sedikit tercekak. Dirinya lalu menerawang ke masa silam. Masa ketika Orde Baru masih berkuasa di Indonesia. Orde Baru identik dengan Golkar, partai bercorak warna kuning yang sempat menjadi penguasa tunggal selama 25 tahun. Di mana pada periode itu, masa pahit bagi tegaknya demokrasi di Indonesia. Berita dan informasi dari media massa sangat terbatas, tak boleh menggelar aksi unjuk rasa, breidel buku-buku yang memojokan pemerintah, jika ada rakat yang kritis mereka langsung ditangkapi,digebug hingga di penjarakan. Tak boleh menyinggung presiden dan keluarganya,ABRI serta penguasa.  Saat itu, aktivis,mahasiswa dan rakyat yang kritis dihinggapi oleh ketakutan. Tak boleh menyebut kata rakyat karena kata itu sangat identik dengan partai komunis yang menjadi musuh penguasa Orde Baru. Sebab istilah rakyat hanya digunakan oleh kalangan aktivis partai komunis tahun 1960-an.

“Dho….kenapa begitu mudah kita melupakan apa yang pernah dilakukan oleh partai tersebut untuk rakyat, untuk bangsa ini?. Dho……25 tahun, bukan sebentar loh masa itu”, teriak Ansyar sambil membuka blackberrynya. “Dho…ini kau baca….Suara Golkar adalah Suara Rakyat. Kau tidak geli membacanya?”. 

“Syar….” Lirih Ridho sambil menepuk bahu rekannya itu. Beginilah bangsa kita, bangsa yang penuh sopan santun dan beradab. Mudah memaafkan dan gampang melupakan. Kejadian masa silam adalah sejarah yang akan dihanguskan bukan dipelihara apalagi dilestarikan. Itulah juga sebabnya, kenapa negeri kita ini belum sanggup keluar dari keterpurukan. Karena bangsa ini, seolah mengamini kekeliruan dan kesalahan masa lalu.  “Hari ini ada berita seorang tokoh menjadi tersangka koruptor. Tapi yakinlah, beberapa tahun ke depan seorang tersangka akan berubah menjadi tokoh bagi bangsa ini. Karena kita gampang dan mudah melupakan kesalahan masa lalu. Begitulah Syar.” Kata Ridho sambil mengajak Ansyar duduk.   “Seharusnya bangsa ini tidak boleh tinggal diam, rakyat harus melawan karena telah dirampas suara nya oleh segolongan kelompok yang pernah menindasnya”, gumam Ansyar. “Ridho…” kata Ansyar sambil sedikit berteriak….”Apakah kau masih ingat lyric lagu Iwan Fals”. “Yang mana Syar…apa yang kau ingat?” ujar Ridho penasaran. Yah kata Iwan Fals…”Robohkan syetan yang berdiri mengangkang”.

Jumat, 15 Februari 2013

Django Negro dan Jenggo Bugis

Django Unchained adalah Film yang mengisahkan tentang penghapusan perbudakan yang diperankan oleh Jamie Fox sebagai Django-"Nama saya Djengo...jangan sebut D", kata Django saat memperkenalkan dirinya kepada salah seorang tuan tanah yang mempekerjakan ratusan budak dari bangsa Negro. Kisah yang berlatar belakang kehidupan di tahun 1858, dimana pada saat itu kasus perbudakan diceritakan masih sangat marak di Amerika Serikat, dan Django adalah salah seorang budak yang telah dibebaskan oleh Dr. King. Lewat tangan Dr. King inilah, Django makin mahir berkuda,menembak dan bergaya coboy. Bahkan Django pun sudah pandai bersandiwara dan bermain strategi saat melakonkan dirinya sebagai pembunuh bayaran. Tetapi dari pengalaman sebagai coboy itulahm Django akhirnya bisa melacak siapa yang telah menculik istrinya. 

Menyaksikan film ini, saya pun teringat istilah jenggo melalui orang tua di ranah Bugis. Kata Jenggo ini muncul ketika hendak memberikan kesan hebat dan jagoan kepada seorang lelaki. Istilah kerennya,adalah sang jagoan. Jenggo dalam istilah bugis adalah seorang pria pemberani dan kuat. Bukan sekedar menumpas kebatilan dan kejahatan, tetapi lebih pada penampilan,keberanian menghadapi sesuatu. Bukan saja keberanian berkelahi tetapi keberanian dalam segala hal, misalnya, menyelamatkan seseorang, menangkap ular,menyebrangi titian bambu, jago memanjat, main panah dan hal-hal yang menampilkan kehebatan pada seseorang. Orang-orang bugis kadang mengatakan "Jenggo mentong anaknya orang", artinya hebat betul anak itu. 

Saya tak bisa menyelaraskan history antara Django dari Misisipi USA dan Jenggo dari tanah Bugis Indonesia. Tetapi dari segi pemaknaan dan penampilan antara  Django USA dan Jenggo Bugis memiliki persamaan yakni lelaki pemberani dan jagoan. 

Senin, 11 Februari 2013

Sambal lombok dan pisang goreng

Jenis makanan gorengan ini umum bagi lidah masyarakat Indonesia. Adalah pisang goreng, yahh.......jenis pisang apapun jika nanakannya digoreng tetap saja namanya pisang goreng. Dan umumnya mencicipi pisang goreng itu ditemani gula pasir dan mentega. Untuk menyempurnakananya,  harus ada teh atau kopi hangat.

Tapi di makassar, lidah warga di sini justru terbiasa mencicipi pisang goreng ditemani sambel pedas. Saya kurang ngerti asal usul sehingga pisang goreng bisa berpasangan dengan sambel lombok saat mencicipinya. Bahkan di kedai kedai atau warung dan cafe, selalu tersaji pisang goreng sambel. Bagiku, entah kapan memulainya saya pun akhirnya menikmati sajian ini dan melupakan kebiasaan lidahku yang lama, pisang goreng - gula pasir atau mentega. Tak lengkap rasanya jika mencicipi pisang goreng tanpa sajian sambel.

Sabtu, 09 Februari 2013

Tradisi Maulid yang men tradisi

9 Februari 2013-hiruk pikuk nelayan berseliweran di pantai Tope Jawa Kabupaten Takalar. Untuk sementara selama seharian, mereka tak mengejar ikan di laut melainkan membawa segompoh telur beragam corak. Mereka lalu bersatu dan menyatu di perairan perkampungan Cikoang Takalar Sulawesi-Selatan. Yah....setiap tahun, warga dari berbagai pulau dan daratan menggelar maulid tradisi di kampung itu. Oleh warga Cikoang Takalar, mereka menjadikan tradisi ini sebagai kewajiban untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Menggelar tradisi Maulid di kampung ini bukanlah sekedar tradisi semata melainkan karena kepercayaan warga bahwa start di daratan Cikoang itulah,  penyebar agama Islam di Sulawesi-Selatan mendarat setelah menaiki perahu dari berbagai belahan daratan dan pulau. Bisa dikatakan, maulid tradisi ini merupakan akhir dari perayaan maulid adat yang berlangsung di Sulawesi-Selatan. Itulah sebabnya disebut sebagai Maulid Lompoa atau Maulid Akbar. 
 







Jumat, 01 Februari 2013

Wajah-wajah yang berubah


"Minal Aidin Wal Walfaizin ka'...sebuah uluran tangan yang kecil, putih dari seorang yang sekira-kira tingginya 145 centimeter. Kujabat erat tangan itu, sambil senyum dan membalasnya. Kembali mulut si anak itu bergerak lalu berucap "sudah lama sekali kita tak bertemu ka'". Kita artinya, saya dan dia sementara ka' adalah sapaan khas orang-orang di kampungku untuk adik kepada seniornya atau yang lebih tua dari usianya. Seperti orang-orang seberang sana yang memanggilku abang atau bang ano. Semula kuanggapnya biasa-biasa saja sapaan itu karena setiap tahun selalui kudapati kalimat seperti itu bahkan sejak saya menggunakan phonsel, di setiap malam takbir bunyi peranta selalu menuliskan kalimat seperti ini "Minal Aidin Wal Faizin".Apalagi di saat itu, dalam suasana berlebaran cukup banyak orang di sekitarku yang mengulurkan erat jabat tangannya. Kulihat wajahnya, dan sebagian cukup kukenali dengan baik. Bagi teman lama, tentu oboralanku cukup panjang lebar diselingi tawa lebar dan saling bertanyaka apa kabar dan saat ini berada di mana?.


Setelah basa-basi seperti itu, rasa penasaran muncul dalam pikiranku.


"Bibir siapa yang bertanya tadi, sudah lama sekali kita tak bertemu ka'?..


Rasanya saya tak pernah bersua dengannya.Wajahnya lucu, putih, kepalanya plontos bahkan tak satupun rambut yang tumbuh.Kutanyai beberapa kawanku


"Siapa dia"..kataku


"ooo...itulah wawan" ujar seorang temanku lalu saya melanjutkan bahwa diakah anak temanku itu?..


Kutinggalkan kampung ini sekitar tahun 80-an silam. Terlalu banyak kenangan indah bersama orang-orang di kampung ini, berenang di sungai layaknya anak pulau yang bermain tanpa batas. Jauh sebelum tersiar Si Bolang, kami sudah jadi anak-anak bolang.Panjat pohon cengkih, pohon cokelat adalah hoby saya dan teman-teman se kampung setiap panen cengkih. Kami lalu bermalam di kebun, tidur di bawah pohon, makan ikan hasil tangkapan di sungai bahkan kadang-kadang seekor rusa hasil tangkapan bapak dan rekan-rekannya yang juga hoby berburu. Pernah sekali, oherku (istilah panggilan bagi bapak atau orang tua di kampungku) berhasil mendapat seekor rusa hasil buruannya lalu saya pun membawa seekor ikan gabus sebesar betis orang dewasa hasil pancinganku di sungai. Kami lalu mengundang sekampung untuk melahap makanan itu hingga larut malam.Tapi anak yang menjabat erat tanganku itu belum lahir.


Suasana lebaran pada tahun ini membawaku ke wajah-wajah yang berubah.Bukan hanya wajah si anak tadi yang membuatku heran dan tercengang melihat suasana di kampung ini.Seorang pria legam tiba-tiba datang bertamu dan menyapa kami sekeluarga, bahkan hanya orangtuaku yang mengenalnya padahal setelah ngobrol panjang, barulah saya tau bahwa si pria inilah yang sering memberiku tuak manis di saat saya tengah haus dahaga.


Kalau berubah karena menua adalah sebuah evolusi yang wajar tetapi perubahan kali ini benar-benar karena saya tak mengenalinya. Walaupun mereka mengenalku tetapi penglihatanku sama sekali bergeming untuk tidak mengenalnya.  Tapi suasana silaturrahmi berlebaran tidak menjadi kendur atau luntur oleh wajah-wajah yang berubah itu. Malah semakin membuatku dekat dan kepengen rasanya mengulangi dan mengajak mereka untuk berburu di hutan-hutan. Saya hanya sedikit penasaran, jangan sampai kampungku yang dulu ini akan terisi oleh orang-orang asing yang suatu nanti tak satupun kukenali.Jadilah saya akan menjadi orang asing di kampung sendiri..