"Minal Aidin Wal Walfaizin ka'...sebuah uluran tangan yang kecil, putih
dari seorang yang sekira-kira tingginya 145 centimeter. Kujabat erat
tangan itu, sambil senyum dan membalasnya. Kembali mulut si anak itu
bergerak lalu berucap "sudah lama sekali kita tak bertemu ka'". Kita
artinya, saya dan dia sementara ka' adalah sapaan khas orang-orang di
kampungku untuk adik kepada seniornya atau yang lebih tua dari usianya.
Seperti orang-orang seberang sana yang memanggilku abang atau bang ano.
Semula kuanggapnya biasa-biasa saja sapaan itu karena setiap tahun
selalui kudapati kalimat seperti itu bahkan sejak saya menggunakan
phonsel, di setiap malam takbir bunyi peranta selalu menuliskan kalimat
seperti ini "Minal Aidin Wal Faizin".Apalagi di saat itu, dalam suasana
berlebaran cukup banyak orang di sekitarku yang mengulurkan erat jabat
tangannya. Kulihat wajahnya, dan sebagian cukup kukenali dengan baik.
Bagi teman lama, tentu oboralanku cukup panjang lebar diselingi tawa
lebar dan saling bertanyaka apa kabar dan saat ini berada di mana?.
Setelah basa-basi seperti itu, rasa penasaran muncul dalam pikiranku.
"Bibir siapa yang bertanya tadi, sudah lama sekali kita tak bertemu ka'?..
Rasanya saya tak pernah bersua dengannya.Wajahnya lucu, putih, kepalanya plontos bahkan tak satupun rambut yang tumbuh.Kutanyai beberapa kawanku
"Siapa dia"..kataku
"ooo...itulah wawan" ujar seorang temanku lalu saya melanjutkan bahwa diakah anak temanku itu?..
Kutinggalkan kampung ini sekitar tahun 80-an silam. Terlalu banyak kenangan indah bersama orang-orang di kampung ini, berenang di sungai layaknya anak pulau yang bermain tanpa batas. Jauh sebelum tersiar Si Bolang, kami sudah jadi anak-anak bolang.Panjat pohon cengkih, pohon cokelat adalah hoby saya dan teman-teman se kampung setiap panen cengkih. Kami lalu bermalam di kebun, tidur di bawah pohon, makan ikan hasil tangkapan di sungai bahkan kadang-kadang seekor rusa hasil tangkapan bapak dan rekan-rekannya yang juga hoby berburu. Pernah sekali, oherku (istilah panggilan bagi bapak atau orang tua di kampungku) berhasil mendapat seekor rusa hasil buruannya lalu saya pun membawa seekor ikan gabus sebesar betis orang dewasa hasil pancinganku di sungai. Kami lalu mengundang sekampung untuk melahap makanan itu hingga larut malam.Tapi anak yang menjabat erat tanganku itu belum lahir.
Suasana lebaran pada tahun ini membawaku ke wajah-wajah yang berubah.Bukan hanya wajah si anak tadi yang membuatku heran dan tercengang melihat suasana di kampung ini.Seorang pria legam tiba-tiba datang bertamu dan menyapa kami sekeluarga, bahkan hanya orangtuaku yang mengenalnya padahal setelah ngobrol panjang, barulah saya tau bahwa si pria inilah yang sering memberiku tuak manis di saat saya tengah haus dahaga.
Kalau berubah karena menua adalah sebuah evolusi yang wajar tetapi perubahan kali ini benar-benar karena saya tak mengenalinya. Walaupun mereka mengenalku tetapi penglihatanku sama sekali bergeming untuk tidak mengenalnya. Tapi suasana silaturrahmi berlebaran tidak menjadi kendur atau luntur oleh wajah-wajah yang berubah itu. Malah semakin membuatku dekat dan kepengen rasanya mengulangi dan mengajak mereka untuk berburu di hutan-hutan. Saya hanya sedikit penasaran, jangan sampai kampungku yang dulu ini akan terisi oleh orang-orang asing yang suatu nanti tak satupun kukenali.Jadilah saya akan menjadi orang asing di kampung sendiri..
Setelah basa-basi seperti itu, rasa penasaran muncul dalam pikiranku.
"Bibir siapa yang bertanya tadi, sudah lama sekali kita tak bertemu ka'?..
Rasanya saya tak pernah bersua dengannya.Wajahnya lucu, putih, kepalanya plontos bahkan tak satupun rambut yang tumbuh.Kutanyai beberapa kawanku
"Siapa dia"..kataku
"ooo...itulah wawan" ujar seorang temanku lalu saya melanjutkan bahwa diakah anak temanku itu?..
Kutinggalkan kampung ini sekitar tahun 80-an silam. Terlalu banyak kenangan indah bersama orang-orang di kampung ini, berenang di sungai layaknya anak pulau yang bermain tanpa batas. Jauh sebelum tersiar Si Bolang, kami sudah jadi anak-anak bolang.Panjat pohon cengkih, pohon cokelat adalah hoby saya dan teman-teman se kampung setiap panen cengkih. Kami lalu bermalam di kebun, tidur di bawah pohon, makan ikan hasil tangkapan di sungai bahkan kadang-kadang seekor rusa hasil tangkapan bapak dan rekan-rekannya yang juga hoby berburu. Pernah sekali, oherku (istilah panggilan bagi bapak atau orang tua di kampungku) berhasil mendapat seekor rusa hasil buruannya lalu saya pun membawa seekor ikan gabus sebesar betis orang dewasa hasil pancinganku di sungai. Kami lalu mengundang sekampung untuk melahap makanan itu hingga larut malam.Tapi anak yang menjabat erat tanganku itu belum lahir.
Suasana lebaran pada tahun ini membawaku ke wajah-wajah yang berubah.Bukan hanya wajah si anak tadi yang membuatku heran dan tercengang melihat suasana di kampung ini.Seorang pria legam tiba-tiba datang bertamu dan menyapa kami sekeluarga, bahkan hanya orangtuaku yang mengenalnya padahal setelah ngobrol panjang, barulah saya tau bahwa si pria inilah yang sering memberiku tuak manis di saat saya tengah haus dahaga.
Kalau berubah karena menua adalah sebuah evolusi yang wajar tetapi perubahan kali ini benar-benar karena saya tak mengenalinya. Walaupun mereka mengenalku tetapi penglihatanku sama sekali bergeming untuk tidak mengenalnya. Tapi suasana silaturrahmi berlebaran tidak menjadi kendur atau luntur oleh wajah-wajah yang berubah itu. Malah semakin membuatku dekat dan kepengen rasanya mengulangi dan mengajak mereka untuk berburu di hutan-hutan. Saya hanya sedikit penasaran, jangan sampai kampungku yang dulu ini akan terisi oleh orang-orang asing yang suatu nanti tak satupun kukenali.Jadilah saya akan menjadi orang asing di kampung sendiri..