“Kita berdiri di sini untuk mengumandangkan jeritan rakyat
yang terhimpit kemiskinan. Dan kita adalah, salah satu rakyat itu yang telah
dimiskinkan oleh keadaan karena pembangunan untuk rakyat telah dirampok oleh
para koruptor. Dan suara rakyat adalah suara Tuhan saudara-saudara sekalian”. Teriak seorang demontran mahasiswa saat
menyampaikan orasinya di hadapan ratusan massa yang mengawalnya saat berunjuk
rasa.
“sejak kapan suara rakyat adalah suara Tuhan”, Tanya seorang masyarakat yang sedang menyaksikan aksi para
mahasiswa dan kelompok LSM ini.
“Yah sejak kita berdiri di sini dan mendengar mahasiswa itu
pidato”, jawab rekannya yang sejak sejam lalu mengikuti jalannya aksi unjuk
rasa memperingati hari anti korupsi se dunia. Ansyar, warga yang bertanya
tentang suara rakyat adalah suara Tuhan lalu melangkah membeli segelas air dingin lalu meminumnya. Agar hati dan pikirannya tersiram air dingin, sebab selama dua jam
lamanya,Ansyar menikmati terik matahari dari luar sementara pernyataan
mahasiswa tadi juga membuatnya merasa panas dan bertanya-tanya. “Gimana Syar,
sudahkah kau minum air dingin. Sejukan hatimu”, Tanya Ridho sambil tertawa. “vox populi vox Dei” teriak
Ridho
Ansyar wajar heran, sebab beberapa saat yang lalu dia juga
sempat membaca beberapa spanduk dan iklan di media bahwa Suara Golkar adalah
Suara Rakyat. “Lalu jika benar kata mahasiswa itu suara rakyat adalah suara
Tuhan berarti suaranya rakyat itu
suaranya Golkar”, rintih Ansyar.
Rupanya kalimat ini yang membuat Ansyar sedikit tercekak. Dirinya lalu menerawang ke
masa silam. Masa ketika Orde Baru masih berkuasa di Indonesia. Orde Baru
identik dengan Golkar, partai bercorak warna kuning yang sempat menjadi
penguasa tunggal selama 25 tahun. Di mana pada periode itu, masa pahit bagi
tegaknya demokrasi di Indonesia. Berita dan informasi dari media massa sangat
terbatas, tak boleh menggelar aksi unjuk rasa, breidel buku-buku yang memojokan
pemerintah, jika ada rakat yang kritis mereka langsung ditangkapi,digebug
hingga di penjarakan. Tak boleh menyinggung presiden dan keluarganya,ABRI serta
penguasa. Saat itu, aktivis,mahasiswa
dan rakyat yang kritis dihinggapi oleh ketakutan. Tak boleh menyebut kata
rakyat karena kata itu sangat identik dengan partai komunis yang menjadi musuh
penguasa Orde Baru. Sebab istilah rakyat hanya digunakan oleh kalangan aktivis
partai komunis tahun 1960-an.
“Dho….kenapa begitu mudah kita melupakan apa yang pernah
dilakukan oleh partai tersebut untuk rakyat, untuk bangsa ini?. Dho……25 tahun,
bukan sebentar loh masa itu”, teriak Ansyar sambil membuka blackberrynya. “Dho…ini
kau baca….Suara Golkar adalah Suara Rakyat. Kau tidak geli membacanya?”.
“Syar….” Lirih Ridho sambil menepuk bahu rekannya itu.
Beginilah bangsa kita, bangsa yang penuh sopan santun dan beradab. Mudah
memaafkan dan gampang melupakan. Kejadian masa silam adalah sejarah yang akan
dihanguskan bukan dipelihara apalagi dilestarikan. Itulah juga sebabnya, kenapa
negeri kita ini belum sanggup keluar dari keterpurukan. Karena bangsa ini,
seolah mengamini kekeliruan dan kesalahan masa lalu. “Hari ini ada berita seorang tokoh menjadi
tersangka koruptor. Tapi yakinlah, beberapa tahun ke depan seorang tersangka
akan berubah menjadi tokoh bagi bangsa ini. Karena kita gampang dan mudah
melupakan kesalahan masa lalu. Begitulah Syar.” Kata Ridho sambil mengajak
Ansyar duduk. “Seharusnya bangsa ini tidak boleh tinggal
diam, rakyat harus melawan karena telah dirampas suara nya oleh segolongan
kelompok yang pernah menindasnya”, gumam Ansyar. “Ridho…” kata Ansyar sambil
sedikit berteriak….”Apakah kau masih ingat lyric lagu Iwan Fals”. “Yang mana
Syar…apa yang kau ingat?” ujar Ridho penasaran. Yah kata Iwan Fals…”Robohkan
syetan yang berdiri mengangkang”.