Sabtu, 16 Februari 2013

Siapa pemilik sah suara rakyat?



“Kita berdiri di sini untuk mengumandangkan jeritan rakyat yang terhimpit kemiskinan. Dan kita adalah, salah satu rakyat itu yang telah dimiskinkan oleh keadaan karena pembangunan untuk rakyat telah dirampok oleh para koruptor. Dan suara rakyat adalah suara Tuhan saudara-saudara sekalian”.  Teriak seorang demontran mahasiswa saat menyampaikan orasinya di hadapan ratusan massa yang mengawalnya saat berunjuk rasa.
“sejak kapan suara rakyat adalah suara Tuhan”, Tanya seorang  masyarakat yang sedang menyaksikan aksi para mahasiswa dan kelompok LSM ini. 

“Yah sejak kita berdiri di sini dan mendengar mahasiswa itu pidato”, jawab rekannya yang sejak sejam lalu mengikuti jalannya aksi unjuk rasa memperingati hari anti korupsi se dunia. Ansyar, warga yang bertanya tentang suara rakyat adalah suara Tuhan lalu melangkah membeli  segelas air dingin lalu meminumnya.  Agar hati dan pikirannya  tersiram air dingin, sebab selama dua jam lamanya,Ansyar menikmati terik matahari dari luar sementara pernyataan mahasiswa tadi juga membuatnya merasa panas dan bertanya-tanya. “Gimana Syar, sudahkah kau minum air dingin. Sejukan hatimu”, Tanya Ridho sambil tertawa.  vox populi vox Dei” teriak Ridho

Ansyar wajar heran, sebab beberapa saat yang lalu dia juga sempat membaca beberapa spanduk dan iklan di media bahwa Suara Golkar adalah Suara Rakyat. “Lalu jika benar kata mahasiswa itu suara rakyat adalah suara Tuhan berarti  suaranya rakyat itu suaranya Golkar”, rintih Ansyar.

Rupanya kalimat ini yang membuat Ansyar  sedikit tercekak. Dirinya lalu menerawang ke masa silam. Masa ketika Orde Baru masih berkuasa di Indonesia. Orde Baru identik dengan Golkar, partai bercorak warna kuning yang sempat menjadi penguasa tunggal selama 25 tahun. Di mana pada periode itu, masa pahit bagi tegaknya demokrasi di Indonesia. Berita dan informasi dari media massa sangat terbatas, tak boleh menggelar aksi unjuk rasa, breidel buku-buku yang memojokan pemerintah, jika ada rakat yang kritis mereka langsung ditangkapi,digebug hingga di penjarakan. Tak boleh menyinggung presiden dan keluarganya,ABRI serta penguasa.  Saat itu, aktivis,mahasiswa dan rakyat yang kritis dihinggapi oleh ketakutan. Tak boleh menyebut kata rakyat karena kata itu sangat identik dengan partai komunis yang menjadi musuh penguasa Orde Baru. Sebab istilah rakyat hanya digunakan oleh kalangan aktivis partai komunis tahun 1960-an.

“Dho….kenapa begitu mudah kita melupakan apa yang pernah dilakukan oleh partai tersebut untuk rakyat, untuk bangsa ini?. Dho……25 tahun, bukan sebentar loh masa itu”, teriak Ansyar sambil membuka blackberrynya. “Dho…ini kau baca….Suara Golkar adalah Suara Rakyat. Kau tidak geli membacanya?”. 

“Syar….” Lirih Ridho sambil menepuk bahu rekannya itu. Beginilah bangsa kita, bangsa yang penuh sopan santun dan beradab. Mudah memaafkan dan gampang melupakan. Kejadian masa silam adalah sejarah yang akan dihanguskan bukan dipelihara apalagi dilestarikan. Itulah juga sebabnya, kenapa negeri kita ini belum sanggup keluar dari keterpurukan. Karena bangsa ini, seolah mengamini kekeliruan dan kesalahan masa lalu.  “Hari ini ada berita seorang tokoh menjadi tersangka koruptor. Tapi yakinlah, beberapa tahun ke depan seorang tersangka akan berubah menjadi tokoh bagi bangsa ini. Karena kita gampang dan mudah melupakan kesalahan masa lalu. Begitulah Syar.” Kata Ridho sambil mengajak Ansyar duduk.   “Seharusnya bangsa ini tidak boleh tinggal diam, rakyat harus melawan karena telah dirampas suara nya oleh segolongan kelompok yang pernah menindasnya”, gumam Ansyar. “Ridho…” kata Ansyar sambil sedikit berteriak….”Apakah kau masih ingat lyric lagu Iwan Fals”. “Yang mana Syar…apa yang kau ingat?” ujar Ridho penasaran. Yah kata Iwan Fals…”Robohkan syetan yang berdiri mengangkang”.