Sepuluh tahun bukanlah satu masa yang pendek dalam satu tempat untuk bekerja dan berkarya. Yah....usia sepuluh tahun adalah usia di mana saya tercatat sebagai cameraman televisi, Trans Tivi broadcast, hingga tahun 2013 ini. Tetapi sebelumnya, dekade 1997 menjadi awal bagi saya untuk terjun di dunia jurnalistik secara umum. Tercatat sebagai koresponden Tabloid paron, saya memulai kegiatan tulis menulis yang dibaca oleh khalayak ramai, masyarakat umum. Ehhh...sebelumnya lagi, bergelut di dunia pers mahasiswa dan pers bawah tanah "Majalah Independen", media yang diterbitkan oleh Aliansi Jurnalis Independen. Pers bawah tanah, karena saat itu penguasa Orde Baru melarang terbit media alternatif yang memuat berita di balik berita, tentang keluarga Suharto, kekayaan Suharto, ABRI, politik Dwifungsi ABRI. Sebelum di Trans Tv, saya pernah di Radio Smart FM Network, Stringer tetap siaran radio BBC London dan tabloid lokal di Makassar.
Baiklah, kita kembali ke dunia broadcast. Bagi saya, dunia broadcast ini penuh tantangan karena akan menampilkan manusia secara utuh melalui visual dan audio atau suara. Sehingga, gelagat manusia melalui rekaman kamera akan terlihat, mulai dari mimik wajah, sedihkah dia, menangiskah dia, marahkah dia, murungkah dia, bohongkah dia? Ungkapan yang keluar dari mulutnya pun akan tergambar melalui gerakan fisik seperti tangan, kepala serta liukan tubuh jika sedang berorasi atau berceritra, entah ceritanya bohong atau tidak.
Itulah sebabnya saya menyimpulkan, bahwa membidik manusia dan kehidupan manusia melalui lensa kamera video maka kameraman tersebut akan memahami dan mendalami manusia seutuhnya. Me-recam kehidupan manusia, suasana alam, kehidupan hewan-binatang adalah "makanan" kamera dan mataku selama sepuluh tahun ini.
Medio 2003 - 2005 adalah tahun di mana mataku membidik dan mengabadikan tetesan darah di Ambon dan Poso. Dalam setahun, saya menginjakan kaki sebanyak dua hingga tiga kali di Ambon dan Poso sulawesi-tengah. Beragam pengalaman, cerita, teman dan histori konflik di kedua wilayah tersebut pun saya pahami secara mendalam. Hingga suatu hari, saya kelaparan saat merayakan hari raya Idul Adha di Kabupaten Poso.. Hemm....Bahkan yang tak terlupakan saat sebilah perang menempel di jendela mobil-tepat dekat leherku, tempatku bersandar dan tertidur pada malam hari ketika melintasi wilayah Beteleme-Tentena hendak menuju Poso.
Akhir 2004, ketika terjadi bencana Tsunami di Aceh menjadi tugas kedua saya meliput bencana. Sebelumnya, pada tahun dan bulan yang sama-tugas pertamaku meliput bencana Gempa Tektonik di Nabire Papua. Dua pekan bergulat dengan kamera-membidik kesedihan dan kehidupan para korban bencana. Isak tangis, sunyi, diam dan suara gemuruh jika gempa susulan terjadi adalah pemandangan dan pengalaman hari-hariku selama dua pekan di daerah tersebut. Sepulang dari Nabire, berselang hanya empat hari- saya kembali terbang ke ujung barat Indonesia-Provinsi Naggroe Aceh Darussalam. Bencana Tsunami memanggilku ke sana untuk merecam setiap gerak-gerik tangis dan sedih warga Aceh yang tengah dilanda "kiamat" kecil. Hampir sebulan saya bergulat dengan relawan, militer dari berbagai negara, jurnalis yang juga berasal dari negara asing. Saat itu, walau saya sebagai juru recam dan reporter tetapi misi mulia tetap terlaksana, yakni kemanusian. Lalu dua tahun kemudian pun saya tahu dan sadar bahwa tugas mulia seorang jurnalis adalah mengabdi pada kemanusiaan.
Rangkaian rekaman bencana di mataku selain di Nabire dan Aceh adalah, bencana Tsunami di Pangandaran Jawa Barat, Banjir Bandang di Sinjai-Bulukumba-Jeneponto dan bencana tanah longsor di Malino Gowa Sulawesi-Selatan. Khusus di Sinjai, selain menjadi saksi bencana melalui recaman kamera, saya pun terlibat aktiv dalam misi kemanusiaan di daerah tersebut. Melalui 3C atau Celebes Care Centre saya bersama teman-teman se misi aktiv membantu para korban bencana banjir bandang di daerah tersebut. Sebelumnya, bencana gempa tektonik di Yogya dan Jawa Tengah, saya pun ikut terlibat dalam misi kemanusiaan di daerah itu. Balik dari Yogyakarta, suatu kejadian luar biasa terjadi di Makassar, yakni hilangnya pesawat Adam Air langit Makassar. Cerita akhir menyebutkan, Adam Air tenggelam di perairan Makassar, perairan yang cukup tenang namun arusnya terkenal sangat deras.
Back to Makassar. Ragam konflik seperti tawuran mahasiswa, bentrok antar warga baik di Sulawesi-Selatan maupun Mamasa Sulawesi-Barat tak terlewatkan oleh mataku melalui bidikan kamera. Termasuk ketika terjadi aksi besar-besaran pasca Pilgub 2007 lalu. Cukup banyaklah, dan halaman blog ini akan makin bertambah jika saya menceritrakan secara detil. Yang pasti, saya kurang menyenangi liputan berbau politik, propaganda politik, kampanye dan jargon para calon rakyat dan calon bupati,walikota hingga gubernur. "saya menolak dan membenci menyampaikan kebohongan kepada pemirsa atau rakyat".
Dua tahun terakhir, kameraku membidik aktivitas manusia secara utuh, lebih humanis, tertawa,inspiratif dan semangat serta keindahan alam ciptaan Tuhan.. Yah...saya baru sadar rupanya angle recamanku telah beralih dari kesedihan, darah, keresahan dan bentrokan menuju ke sesuatu yang lebih inspirasi,keelokan alam serta gurhnya segala makanan khas di nusantara ini. Itulah sebabnya saya bisa mengatakan, sepuluh tahun terakhir ini menjadi seorang Video Journalist, saya lebih enjoy, lebih memahami makna kemanusiaan,lebih mendalami sebuah kehidupan interaksi sesama manusia, fresh dan tentunya sangat menyenangkan. Jadi seusia apapun saya, sebesar apapun tanggungjawabku, maka saya akan tetap memilih, esok dan akan datang, akan tetap memilih dan merecam kehidupan manusia dan alam ini.